Pages

Senin, 11 April 2011

Cleopatra; Mampu Berbicara Tujuh Bahasa

Mendengar nama Cleopatra, bayangan yang ada di kepala banyak orang agaknya masih sama. Wanita cantik mempesona yang menyukai kehidupan glamor sarat pesta. Meski yang tersisa hanya legenda, sosok ini nyatanya terus mendunia lewat beragam inkarnasinya yang lahir dari tangan-tangan terampil Hollywood. Sejak zaman film bisu sampai generasi sekarang, Cleopatra seakan ‘muncul’ silih berganti dalam sosok Dewi Amor dengan berbagai nuansa.
Yang paling sering tercermin, baik di panggung opera maupun di layar perak, adalah sosok Cleo yang kehidupannya penuh kemewahan dan pesta pora beraroma birahi seperti dimainkan oleh Theda Bara (Cleopatra–1917), kemudian Claudette Colbert (Cleopatra–Cecil B. DeMille, 1934) atau Vivien Leigh (Caesar and Cleopatra, 1946) karya George Bernard Shaw. Bahkan Cleopatra yang sensual bak boneka seks nyaris tergambar sempurna dalam diri Elizabeth Taylor (Anthony and Cleopatra, 1963).
Memang, tampilan sosok Cleopatra tidak bisa dilepaskan dari kepentingan sekaligus kejujuran para pembuatnya. Kalau diperhatikan dengan seksama, citra wanita cantik ini nampak sengaja dipermainkan, atau lebih tepatnya, dicabik bagian demi bagian untuk kepentingan sesaat. Semisal dalam film All for Love, John Dryden hanya menggambarkan sepintas saja peran Cleopatra sebagai ratu Mesir secara tradisional, sementara peran tambahannya justru lebih banyak. Begitu pula penggambaran George Bernard Shaw tentang Cleopatra sebagai penyuka takhayul, yang kemudian berkembang menjadi bengis, justru menimbulkan rasa tidak simpati kalangan tertentu.

Cleopatra gosong
Yang menarik, belakangan muncul versi lain yang sempat memicu pro-kontra. Sampai sekarang di Museum Inggris masih tersimpan sebuah koin logam dengan relief wajah Cleopatra yang kata orang sono malah mirip Abraham Lincoln. Tak jelas, apakah olok-olok ini berhubungan dengan kontroversi tersebut atau tidak. Namun berdasar asumsi besarnya pengaruh Afrika dalam budaya Yunani dan Romawi, ada pendapat yang mengatakan bahwa Cleopatra adalah seorang wanita berkulit hitam.
Sinyalemen ini wajar, karena memang banyak sisi gelap sejarah keluarga Cleo yang tidak berhasil terkuak secara jelas. Terlebih nihilnya data sejarah yang bisa menggambarkan garis keluarga nenek dari pihak sang ayah, kecuali sedikit informasi bahwa wanita yang mengandung ayah Cleopatra ini memang bukan istri sah dari Kaisar Ptolemy IX.
Versi Cleopatra gosong alias hitam ini tak pelak melahirkan silang pendapat. Mereka yang mengiyakan versi ini menyandarkan argumennya pada temuan bahwa moyang Ptolemy IX, yakni Ptolemy II yang hidup seabad sebelumnya, pernah memiliki selir wanita Mesir. Toh, kesahihan argumen ini diragukan. Apalagi kaum Ptolemy biasanya amat bangga pada darah biru dan keturunannya. Mereka cenderung menikah dengan sanak famili sendiri untuk menjaga kemurnian darah ningratnya. Kalaupun harus mengambil selir, biasanya mereka lebih memilih wanita Yunani kelas atas.
Kebanggaan kaum Ptolemy yang merasa derajatnya lebih tinggi dari bangsa Mesir, tercermin pada kepongahan mereka tak mau bertutur kata dalam bahasa setempat. Buktinya, meski sudah berdiam di Alexandria selama 300 tahun, sebagian besar tidak becus berbicara dalam bahasa setempat. Kebangetan, memang! Dalam kasus ini, Cleopatra bisa disebut orang pertama yang belajar bahasa Mesir.
Beragamnya versi tentang Cleopatra yang beredar jelas membingungkan. Siapa sesungguhnya sosok wanita ini? Bagaimana cerita Cleopatra yang sebenarnya?
Alamat yang dianggap tepat untuk mencari jawaban itu tak lain adalah Plutarch, penulis biografi asal Yunani yang hidup di abad pertama. Meski jauh berbeda dengan berbagai versi hasil ‘rekayasa’ orang, Plutarch memang mengiyakan adanya dua sisi wajah Cleopatra yang dia temukan baik lewat peninggalan sejarah maupun kesaksian mereka yang hidup sezaman. Sebagian mengatakan bahwa Cleo adalah ilmuwan yang diakui kalangan tradisional setempat. Selain dikenal sebagai seorang dewi yang keibuan, dia juga dianggap Sang Penyelamat yang diutus untuk membebaskan bangsa Timur dari penindasan Romawi.
Di lain pihak, Plutarch juga memiliki informasi dari sumber Romawi yang isinya bertolak belakang. Di mata orang Romawi, nyaris tidak ada bagian hidup Cleopatra yang dianggap baik. Perilaku seksualnya dianggap begitu menggebu, sehingga wanita ini dicap sebagai wanita tuna susila paling kejam di dunia sekaligus pengkhianat Romawi.

Politisi cerdik
Dilahirkan tahun 69 sebelum Masehi, Cleopatra adalah anak ketiga dari raja Mesir Auletes yang bergelar Ptolemy XII. Raja ini terkenal dengan sebutan The Flute Player. Untuk mendapatkan dukungan dalam memegang tampuk pemerintahannya, Ptolemy harus sering mondar-mandir ke Roma, bahkan mungkin pernah ditemani Cleopatra kala ia berusia 12 tahun. Dasar lintah darat, pihak Romawi minta bayaran 10.000 talen sebagai imbalan jasa. Jumlah itu dua kali lipat ‘APBN’ Mesir. Ptolemy memang tak punya banyak pilihan. Apalagi negeri yang ditinggalkan sedang menghadapi banyak masalah.
Si sulung Tryphaena, merebut kekuasaan dan tampil jadi ratu. Merasa memiliki hak yang sama, Berenice sang adik, tega membunuh kakaknya agar bisa naik tahta. Beberapa waktu kemudian, Ptolemy pulang dan dengan bantuan Roma membunuh anaknya sendiri untuk dapat merebut kembali tampuk kekuasaan.
Mestinya, sepeninggal Ptolemy XII tahun 51 SM, kerajaan diwariskan kepada Cleopatra (18) yang saat itu sudah dijodohkan dengan Ptolemy XIII yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Masa itu negeri Mesir gagal panen dan dilanda paceklik panjang. Namun Pothinus, orang kasim istana, muncul mengambil alih kekuasaan. Mengaku sebagai wali dari Ptolemy XIII yang kala itu baru 12 tahun, ia mengusir Cleopatra ke luar benteng keraton.
Pada waktu yang sama di Roma sedang terjadi perebutan pengaruh di antara anggota triumvirat—Caesar, Pompeii, dan Crassus—yang memegang tampuk pemerintahan. Dalam pergolakan itu, Caesar berhasil memukul mundur prajurit Pompeii yang kemudian mengungsi ke Mesir. Karena tak mau negerinya dipakai sebagai tempat persembunyian, akhirnya warga Mesir justru menangkap Pompeii dan menyerahkan kepalanya kepada Caesar yang kebetulan datang ke Alexandria untuk menagih utang Ptolemy XII.
Situasi ini dengan cerdik dimanfaatkan oleh Cleopatra. Terbukti, tak sulit baginya untuk menaklukkan hati Caesar. Bermodal raganya yang molek dan kepiawaiannya merayu, dalam waktu singkat Caesar terpikat dan bertekuk lutut. Plutarch melukiskan betapa kreatif dan uniknya Cleo yang sengaja membungkus tubuhnya dengan selimut, untuk disajikan ke depan Caesar seperti barang dagangan saja. Cerita selanjutnya gampang ditebak. Setelah merasakan kehangatan tubuh dan layanan Cleo di tempat tidur, akhirnya semua permintaan wanita ini terkabul. Tak peduli kala itu Caesar sudah gaek dan botak. Yang penting, Cleopatra memperoleh kembali tahta kerajaan dan Mesir tidak perlu bayar utang kepada Roma.
Betapa gampangnya Cleo memikat dan ‘menundukkan’ kaisar Romawi merupakan bukti, sebagai wanita ia amat piawai menghadapi lawan jenis. Terlebih mereka yang akan dimanfaatkannya. Kelebihan ini diperkuat dengan pendapat sejarawan Yunani abad ke-2, Dio Cassius yang menulis bahwa Cleo “... adalah wanita yang amat indah dipandang dan punya kekuatan untuk menaklukkan siapapun.”
Dengan pengaruhnya itu pula ia ‘memakai’ Caesar untuk menumpas pemberontakan sekelompok prajurit Mesir yang tidak puas dengan pemerintahannya. Sejarah mencatat, insiden pemberontakan ini sempat membumihanguskan perpustakaan negera di Alexandria dan melahirkan misteri tewasnya Ptolemy XIII di Sungai Nil.
Caesar kemudian mengawinkan Cleopatra dengan Ptolemy XIV yang kala itu masih berusia 12 tahun. Langkah ini tak pelak memperkuat dugaan orang. Ternyata memang benar. Kehadiran bocah ingusan ini di sisi Cleopatra hanya dipakai sebagai tabir untuk ‘mengamankan’ perselingkuhan mereka. Ini cara cerdik yang dilakukan Cleo sebelum akhirnya ia mau berterus terang. Apalagi tak lama setelah Caesar meninggalkan Mesir, Cleopatra hamil. Dengan perhitungan matang, mengingat Caesar tidak memiliki anak dari istri sahnya di Roma, Cleopatra menamai anaknya Ptolemy Caesar, yang dipanggilnya Caesarion.
Ia membawa anak itu ke Roma tahun 46 SM. Kedatangannya di Roma disambut meriah dan hangat, bahkan secara khusus Caesar membuat patung emas Cleopatra yang ditempatkan di kuil Venus Genetrix. Kali ini Cleopatra harus memendam kekecewaan besar, ketika pada akhirnya Caesar tidak memilih Caesarion sebagai pewaris tahta, melainkan justru memutuskan Octavian, cucu laki-laki saudaranya. Putus sudah harapan Cleo menancapkan pengaruhnya di Romawi. Dalam keputusasaan ia pulang ke Mesir.
Sakit hati Cleopatra kepada Caesar terbalaskan ketika Romawi diperintah oleh triumvirat generasi berikutnya; yakni Octavian, Lepidus dan Markus Antonius. Nama yang tersebut terakhir inilah yang kemudian berhasil ‘dijerat’ dalam pelukannya.

Saat itu Mesir sudah berhasil memakmurkan diri, bahkan terkaya di kawasan Laut Tengah bagian timur. Kemakmuran itulah yang menarik minat Markus Antonius datang pada tahun 41 SM. Misinya mencari dana untuk membiayai peperangan melawan bangsa Parthia, sebuah kerajaan di tenggara Laut Kaspia.
Kedatangan Antonius ke Mesir disambut hangat oleh Cleopatra. Berbagai jamuan pesta makan dan minum dirayakan. Kedua pihak meneken memorandum of understanding (MoU) bilateral. Cleopatra berjanji memberi dukungan material kepada Antonius dalam peperangannya melawan bangsa Parthia. Sebaliknya Antonius melindungi kepentingan dan keamanan Cleopatra, terutama dalam menyingkirkan Arsinoe, saudaranya yang terlalu ambisius. Tentu saja karena MoU tadi tak mengatur hal-hal di luar urusan kenegaraan, maka kalau hubungan pribadi kedua pelakunya berkembang lebih jauh, tidak ada pihak yang berhak melarangnya. Terbukti, antara Cleopatra dengan Antonius segera terlibat hubungan asmara. Jalinan cinta keduanya berhasil membuahkan tiga orang anak, sepasang kembar, yakni Alexander Helios, Cleopatra Selene serta Ptolemy Philadelphus.
Yang jelas, hadiah terbesar yang diterima Cleopatra adalah penobatan dirinya sebagai Ratu Segala Raja dan Caesarion sebagai Raja Di Raja. Bahkan dengan pengaruhnya, Cleopatra berhasil mendesak Antonius menitahkan Caesarion sebagai pewaris tunggal tahta Roma, dalam sebuah upacara kenegaraan meriah di Alexandria. Sesuatu yang melampaui wewenangnya sebagai anggota triumvirat.
Maka pantas bila kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Triumvirat Romawi kembali pecah, karena Octavian (yang kelak menjadi Kaisar Agustus) menuduh Markus Antonius melakukan desersi dan berniat memindahkan ibukota kerajaan ke Alexandria. Menyusul perpecahan itu, tahun 31 SM terjadilah perang besar antara kubu Octavian melawan kubu Antonius. Pertempuran yang memuncak di Actium harus usai dengan kekalahan Cleopatra dan Antonius. Kisah-kasih kedua insan inipun berakhir tragis. Masing-masing bunuh diri dengan caranya sendiri.
Meski demikian kematian Cleopatra sempat menimbulkan kontroversi. Pendapat yang satu mengatakan akibat gigitan ular berbisa. Tapi disanggah yang lain karena luka di lengannya ternyata hanya gigitan serangga. Sementara yang lain mengatakan ia minum racun yang disembunyikan di dalam tangkai sisirnya yang berongga. Lantas siapa yang benar? Tak ada yang bisa menjawab.

Wanita tegar serba bisa
Biasanya sejarah menampilkan wajah dalam berbagai sisi. Itu terjadi lantaran ia sering merupakan percampuran antara fakta diri yang diimbuhi gincu dan bumbu untuk kepentingan politis. Salah satu contohnya adalah wajah sejarah Cleopatra.
Terlepas dari sisi kehidupannya yang negatif, sosok Cleo adalah wanita tegar yang amat pintar. Pujangga Romawi Cicero mengakui, Cleopatra adalah wanita terpelajar yang masih langka pada zamannya. Pengamatan Cicero membuktikan, wanita ini tidak pernah mau melakukan sesuatu tanpa mempelajarinya terlebih dahulu. Bahkan al-Masudi, sejarawan Arab, mengatakan Cleopatra yang punya minat besar pada ilmu filsafat adalah pengarang buku-buku pengetahuan. Ini tidak mustahil, mengingat catatan sejarah di tangan Plutarch menyebutkan wanita ini menguasai tujuh bahasa.
Di mata kaumnya yang hidup berabad-abad kemudian, kecantikan dan kemolekan Cleopatra yang nyaris tak tercela itu telanjur menjadi legenda. Apalagi, menurut Dio Cassius, Dewi Asmara ini tahu cara berdandan. Cleo bahkan menulis sebuah buku perawatan tubuh berisi resep kecantikan dari ramuan-ramuan aneh, yang pasti sangat asing bagi para ahli kecantikan abad ini, semisal tikus bakar.
Sebagai wanita yang memegang tampuk kekuasaan dan ibu tiga orang anak, Cleopatra menjalani hidup dengan penuh ketegaran. Bayangkan, seorang perempuan sendirian memerintah sebuah kawasan besar yang cukup lama menjadi ancaman bagi Roma. Disamping urusan negara, tentu ia tak bisa meninggalkan Caesarion dan sepasang bayi kembar yang selalu meminta perhatian.
Setiap hari ia sibuk bekerja. Mulai dengan ‘sidang kabinet’, bertemu para penasihat, memberi persetujuan atas proyek pembangunan saluran air, atau memeriksa pemasukan pajak negara. Belum lagi menemui tamu-tamu dan para duta besar yang datang.
Namun, betapapun data sejarah menyediakan segudang jawaban atas berbagai pertanyaan tentang dirinya yang sejati, akankah khalayak tertarik mengubah citra Cleopatra dari yang sudah dikenal selama ini?