Pages

Selasa, 12 Oktober 2010

Di Jakarta saat 2012 !

Pembangunan Biang Kerok Ancaman Jakarta Tenggelam. Tidak terkendalinya pembangunan gedung-gedung tinggi, serta penggunaan air tanah secara berlebihan ditenggarai menjadi faktor utama munculnya ancaman Jakarta tenggelam. Situasi di atas juga semakin didukung tingginya volume air kiriman dari Bogor dan sekitarnya yang mengalir melewati Sungai Ciliwung. Berdasarkan analisis Institut Hijau Indonesia (IHI), penggunaan air bawah tanah di Jakarta sudah melampaui batas kewajaran.
 

“Ini disebabkan semakin banyaknya kawasan industri di Jakarta yang menggunakan air bawah tanah tanpa bisa dikontrol oleh pemerintah,” kata Direktur Eksekutif IHI Slamet Daroyani kepada okezone belum lama ini. Pada 2010, IHI memperkirakan kelebihan penggunaan air bawah tanah di Jakarta sebesar 251,8 juta meter kubik per tahun. Padahal, batas amannya hanya 186,2 juta meter kubik per tahun, artinya akan ada devisit 66,6 juta meter kubik dalam satu tahun.

PDAM sendiri tidak bisa berbuat banyak dalam pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat. PDAM hanya mampu memenuhi kebutuhan air penduduk sebanyak 295,6 juta meter kubik per tahun. Daroyani mengatakan, PDAM sudah mengeluh sejak lama tidak bisa memasok air ke masyarakat karena keadaan alat pendukung sudah tidak memadai. “Alat-alat PDAM sudah digunakan sejak zaman Belanda, maka wajar saja jika banyak yang bocor,” tegasnya.
Kebutuhan air di Jakarta saat ini sebanyak 547,5 juta m3 per tahun. Hitungan tersebut mengacu jika per orang menggunakan air sebanyak 150 liter per harinya, dengan estimasi penduduk Jakarta pada 2010 sebesar sepuluh juta jiwa. “Hal ini berakibat pada berkurangnya daya dukung kekuatan lingkungan. Sebab, 17,16 persen wilayah Jakarta mengalami daya dukung kekuatan lingkungan rendah dan berpotensi pada penurunan, terutama di Jakarta Utara,” pungkasnya.

Pada kesempatan berbeda, pengamat lingkungan Sony Keraf meminta Pemprov DKI menyetop pemberian izin mendirikan bangunan mal, hotel, apartemen, dan lain sebagainya untuk mengurangi kerusakan lingkungan di Ibu Kota. “Untuk dilakukan kajian komperhensif terlebih dahulu,” ujarnya, belum lama ini. Mantan Menteri Lingkungan Hidup era Megawati ini menegaskan, berdasarkan data yang diperoleh, saat ini daya tampung pembangunan di Jakarta sudah tidak kuat. Artinya, lanjut dia, mulai saat ini Pemprov DKI harus menghentikan pemberian izin mendirikan bangunan.

“Kalau pemerintah terus memberi izin sebaiknya Ibu Kota dipindahkan saja. Karena untuk membongkar bangunan yang ada tidak mungkin. Selain merugikan pekerja, juga akan merugikan investor,” tandasnya. Selain itu, penegakkan hukum terhadap masalah lingkungan juga dinilai Sony masih lemah. Hal ini terjadi akibat ada tarik menarik kepentingan. 

“Sebenarnya dalam RUU tata ruang sudah dituangkan ada pidana bagi pemberi izin yang melanggar tata ruang. Tetapi dalam pembahasannya itu tidak diterima. Banyak rekomendasi ilmiah yang dikalahkan rekomendasi politik,” pungkasnya.(ful)

Tanda-Tanda Jakarta Tenggelam Sudah Bermunculan
Sejumlah kalangan memprediksi Jakarta akan tenggelam, meski soal waktu mereka masih berbeda pendapat. Hal ini dikarenakan aktivitas air kerap menggenangi wilayah Jakarta. Tak hanya pada musim penghujan, di musim kemarau pun banjir kerap menggenangi wilayah Ibu Kota. Sedikit menoleh ke belakang, hampir setiap lima tahun, hampir seluruh kawasan Jakarta tergenang banjir. Tak tanggung-tanggung, di beberapa wilayah tinggi air banjir nyaris menutupi atap rumah. Tengok saja seperti yang terjadi di Jatinegara, Kampung Pulo, Penjaringan, dan sebagainya.

Seperti tidak belajar dari pengalaman, banjir Jakarta semakin menggila jika hujan tiba. Bahkan, frekuensinya pun lebih dahsyat dari sebelumnya. Masih teringat di benak kita jika Istana Negara sempat menjadi korban banjir lima tahunan. Selain itu, sejumlah ruas protokol pun ikut tergenang dan tak bisa dilalui pengendara sepeda motor atau pun mobil.
Selain banjir tahunan, masyarakat pesisir Jakarta juga kerap disibukkan dengan air rob. Tak ada hujan dan tak ada petir, rob bisa datang kapan saja, di saat gelombang air laut sedang meninggi. Masyarakat di pesisir Jakarta seperti Tanjung Priok dan Muara Angke seakan sudah terbiasa dengan situasi semacam ini. Mereka pun tetap menjalankan aktivitas seperti biasa kendati rumah atau tempat kerjanya tergenang air.

Ironisnya, hingga saat ini belum ada langkah kongkret yang dilakukan pemerintah. Dari tahun ke tahun, masyarakat pesisir dan masyarakat yang tinggal di bantaran kali tidak merasakan perubahan yang lebih baik. Hanya banjir dan banjir. Pemerintah pun tak tinggal diam. Untuk mengantisipasi hal ini pemerintah mendirikan proyek Banjir Kanal Timur (BKT). Namun entah mengapa, proyek yang sempat kontroversi di masyarakat ini tidak kunjung terealisasi.

Terakhir, bukti bahwa kondisi Jakarta bermasalah adalah longsornya jalan raya di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara. Pengamat menilai, kejadian tersebut dikarenakan telah terjadi abrasi. Peneliti dari Indonesia Water Institut (IWI) Firdaus Ali mengatakan, untuk mendapatkan tanah keras di Jakarta harus di kedalaman 25 sampai 40 meter. Jadi, lanjut dia, saat ini mayoritas masyarakat Jakarta berada di atas permukaan lumpur.

“Semakin lama akan menjadi penurunan dan itu sangat berbahaya. Penyebab lainnya adalah beban bangunan di Jakarta saat ini terlalu besar,” ujar Firdaus, kepada okezone, beberapa waktu lalu. Dia menambahkan, gerakan tektonik sangat berpengaruh pada kondisi tanah Jakarta. Kendati skala gerakan terbilang kecil, namun hal tersebut cukup berpengaruh kepada pergeseran tanah di Jakarta sebesar 87 persen.

“Faktor yang terpenting adalah penggunaan air tanah yang berlebihan. Hal ini memberikan pengaruh sebesar 17 persen. Pengaruhnya memang kecil, tapi jika tidak segera ditanggulangi akan berakibat besar. Persoalan ini sering dikesampingkan,” tandas akademisi Universitas Indonesia ini. Firdaus mengulas, Mexico City dan Bangkok juga pernah mengalami masalah seperti ini. Namun, mereka langsung tanggap dan langsung diatasi. Kala itu, Mexico City butuh waktu 40 tahun untuk mengalihkan penggunaan air bawah tanah ke air permukaan.

”Saat ini kondisi paling rawan memang Jakarta Utara. Di sana jika ingin membuat bangunan tiang pancangnya paling tidak harus sampai 40 meter. Selain itu, Jakarta Pusat juga rawan. Ini dikarenakan penggunaan air bawah tanah yang berlebihan,” pungkasnya. (ful)

Jakarta Terancam Tenggelam 2012
Jakarta akan tenggelam pada 2012? Ungkapan ini bukanlah isu murahan. Hal tersebut, dinilai bisa terjadi jika pemerintah setempat tidak memperdulikan kondisi lingkungan dalam menjalankan pembangunan. Berdasarkan keterangan sejumlah pakar lingkungan, kondisi tanah Jakarta saat ini memang mengalami persoalan. 

Setiap tahunnya, settlement amblesan terjadi di wilayah Jakarta hingga 10 sentimeter. Proses itu terjadi secara pelan-pelan tapi pasti.

“Jika penggunaan air tanah secara berlebihan tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Saya tidak bisa bayangkan, mungkin rumor mengenai Jakarta tenggelam bisa saja terjadi pada 2012,” ujar Pendiri Indonesia Water Institut (IWI) Firdaus Ali kepada okezone belum lama ini. Hal senada diutarakan pakar geotenik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Masyhur Irsyam. Menurut dia, kondisi tanah di Jakarta terus mengalami penurunan. Hal ini dikatakannya usai menganalisa peristiwa jalan ambles di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara.

Dengan terjadinya konsolidasi tanah lunak akan turun lima sampai 10 sentimeter per tahun akan memadat dan kekuatan tanahnya makin lama akan semakin meningkat. Kejadian ini dalam istilah geoteknik disebut “Drained Condition”. Jadi kalau tidak ada perubahan lingkungan, semakin lama timbunan badan jalan akan semakin stabil.

“Tapi kenyataannya terjadi kelongsoran, sehingga penyebabnya adalah perubahan lingkungan yang kemungkinan dapat diakibatkan oleh beberapa hal seperti beban lalu lintas yang besar, pasang surut air laut yang tinggi dan surut mendadak, serta perubahan geometri lereng jalan,” ujar Masyhur.

Tak hanya itu, kejadian longsor tersebut juga diprediksi akan merambah ke sejumlah kawasan lainnya di Ibu Kota. Karena itu, pemerintah diimbau untuk mewaspadai agar peristiwa serupa tidak terulang.(ful)